Di Indonesia, melihat hutan hijau yang rimbun dan lebat adalah hal yang biasa. Akan tetapi melihat padang rumput luas dengan ratusan ternak pastinya merupakan hal yang tidak biasa. Itulah yang terjadi dengan saya ketika menjelajah alam Sumba Timur, NTT.

Padang rumput di kiri dan kanan jalan…
Dalam perjalan kami dari Waingapu menuju Baing, entah sudah berapa kali kami berhenti dan turun dari motor demi bisa menikmati dan mengabadikan pemandangan indah yang tersaji didepan mata kami. Bentangan padang rumput dan perbukitannya yang sangat luas serta ribuan ternak yang bebas berkeliaran di alam liar membuat siapapun tergoda, minimal untuk berhenti sejenak dan mengaguminya.

Laipori
Kami berhenti sebentar di padang rumput Laipori, Tidak begitu jauh dari Waingapu. Kami duduk duduk sebentar dibawah sebuah pohon yang cukup teduh sambil melepaskan pandangan ke padang rumput yang membentang luas di hadapan kami. Di ujung horizon tampak deretan sapi berjalan beriringan seolah dikomando untuk jalan baris berbaris. Selain sapi, kami juga melihat burung Khas sumba yaitu burung Gemak yang sedang mencari biji bijian di antara rerumputan. Ukurannya kecil dan berwarna kecoklatan. Saya mencoba mendekatinya namun burung itu terbang rendah dan menjauh. Ah sudahlah, kami kembali duduk dibawah pohon rindang dan membiarkan wajah kami di belai belai angin sabana.
Sumba pada dasarnya adalah sebuah pulau karang, lihat saja dibalik padang rumput luas itu, semuanya adalah batu karang yang keras dan tajam. Hanya sedikit pepohonan yang mampu hidup di daerah berkarang dan kering seperti pulau sumba. Yang mampu tumbuh di karang karang keras ini hanyalah rumput dan semak. Tidak heran, Sumba di dominasi oleh padang rumput luaaaass banget. Pepohonan biasanya hanya dapat tumbuh didaerah pantai, aliran sungai dan dasar perbukitan. Disaat musim hujan padang rumput ini berwarna hijau seperti lapangan golf, sedangkan dimusim kering berwarna coklat ke emasan seperti permadani. Rasanya mengasikkan sekali berguling guling di Padang rumput. Tapi hati hati dengan “kue coklat”…
Padang rumput luas seperti ini sangat ideal sebagai habitat hewan ternak pemakan rumput, seperti kuda, kambing, sapi dan kerbau. Puluhan ribu hewan ternak ini dibiarkan bebas berkeliaran di alam liar oleh pemiliknya. Pemiliknya tidak khawatir hilang atau tertukar karena masing masing hewan ternak ini sudah punya “KTP” berupa nomor yang di cap di tubuh ternak. Makanya tidak heran selama perjalanan di Sumba timur, kami sering sekali bertemu hewan hewan ternak ini berkeliaran seenaknya, bersantai di tepi jalan, menyebrang jalan, bahkan bergerombol menutupi jalan.

Kuda Sumba
Disaat musim penghujan, hewan ternak ini gemuk2 semua karena makanannya berupa rumput hijau melimpah ruah. Namun disaat musim kemarau, hewan ternak ini kembali kurus kering. Hewan ternak terutama Kuda dan Sapi sangat pilih pilih dalam hal mencari makan, mereka hanya mau makan rumput hijau yang segar. Berbeda dengan rumput hijau, rumput kering coklat tidak mempunyai kandungan gizi. Biasanya peternak mengakalinya dengan cara membakar padang rumput yang kering itu. beberapa hari setelah dibakar, akan tumbuh tunas tunas rumput baru yang hijau. Namun sayangnya pembakaran padang rumput itu membuat padang rumput tampak berantakan dan tidak sedap dipandang.
Lamunan saya bubar saat seorang penduduk setempat menyapa kami. Dia bersama anaknya sedang mengiring beberapa ekor sapi. Menurut keterangan beliau, Padang Rumput Laipori yang sedang kami pandangi ini nantinya akan menjadi area lokasi bandara Sumba Timur yang baru. Yaah.. walaupun ntah kapan realisasinya, tapi saya merasa cukup beruntung masih bisa melihat Padang rumput Laipori sebelum nantinya berubah jadi landasan pesawat.
Kami meninggalkan Laipori, dan terus berkendara ke timur menuju Baing. Lagi lagi dalam perjalanan kami tergoda untuk berhenti dan mengabadikan foto dibeberapa tempat, seperti di Tatung, Wanga, Tanaraing, dan Tandening
Setiap kali melihat sekeliling, kami merasa tidak seperti sedang berada di Indonesia. Saya teringat dengan film The Hobbit, ada adegan dimana sang Hobbit dan Kurcaci dikejar kejar oleh srigala di sebuah padang rumput kecoklatan yang luas sekali. Pemandangan di film itu hampir sama dengan padang rumput sumba. Beda lagi ketika kami memandangi padang rumput datar dengan beberapa pepohonan dan gerombolan ternak, kami langsung teringat dengan landscape alam Afrika yang sering kami lihat di tv. Saya membayangkan seandainya di Sumba ada gajah, singa, jerapah, pastilah pulau sumba ini sudah dijuluki Little Africa.
keren…
btw foto terakhir itu bikin ngakak… Afrika ooom..
emng mirip afrika kaaann..
wah berasa di afrika
littlenomadid.blogspot.com
hehe iya memang sumba rasa afrika..
Bang kira2 bulan Desember imasih gini gak pemandangannya??
nice post! btw foto yang terakhir keren, kreatif! ^^
thx gio….
Indah sekali.. terimakasih telah membuat blog info seputar sumba yah.. saya berencana kesana tahun depan..semoga bisa melihat keindahan di Sumba secara nyata ya .. salam kenal 🙂
terimakasih, salam kenal kembali
harga kuda disana berapa perekor,katanya murah
kurang tau juga.. mungkin sekitar 8 juta :p
Klo 8jt di jawa jg segitu
halo bang mohon maaf mengganggu, perkenalkan nama saya fajar rizki saya mahasiswa fakultas peternakan UNPAD. saya berniat untuk melakukan penelitian kuda di sumba timur. apakah abang punya kenalan warga sana? terima kasih
Halo..Maaf baru balas ya. Kalau berencana meneliti kuda di Sumba Timur, dtg aja ke kantor dinas peternakan. Pasti mereka bantu..
Dear Bang Ardin,
Rencana akhir bulan Desember ini kami berkunjung ke Waingapu, dari postingan abang saya melihat tempat ini begitu menarik untuk dikunjungi. Kira2 kalo udah desember masih gini yah bang viewnya dan gimana transportnya menuju kesana?? balasannya sangat dinanti. terima kasih